UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2009
TENTANG
KESEJAHTERAAN SOSIAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
NOMOR 11 TAHUN 2009
TENTANG
KESEJAHTERAAN SOSIAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Menimbang
|
:
|
a.
|
bahwa Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan
negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum dalam rangka mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
|
|||
b.
|
bahwa untuk mewujudkan
kehidupan yang layak dan bermartabat, serta untuk memenuhi hak atas
kebutuhan dasar warga negara demi tercapainya kesejahteraan sosial,
negara menyelenggarakan pelayanan dan pengembangan kesejahteraan sosial
secara terencana, terarah, dan berkelanjutan;
|
|||||
c.
|
bahwa Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial sudah tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara sehingga perlu diganti;
|
|||||
d.
|
bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c
perlu membentuk Undang-Undang tentang Kesejahteraan Sosial;
|
|||||
Mengingat
|
:
|
Pasal 18A, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23
ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28H ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), dan Pasal 34
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
|
||||
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA |
||||||
MEMUTUSKAN:
|
||||||
Menetapkan
|
:
|
UNDANG-UNDANG TENTANG KESEJAHTERAAN
SOSIAL.
|
||||
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1 |
||||||
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksudkan
dengan:
|
||||||
1.
|
Kesejahteraan Sosial
adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial
warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri,
sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
|
|||||
2.
|
Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan
berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar
setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.
|
|||||
3.
|
Tenaga Kesejahteraan
Sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional
untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial
dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun
swasta yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial.
|
|||||
4.
|
Pekerja Sosial
Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah
maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan
kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan,
pelatihan, dan/atau pengalaman praktek pekerjaan sosial untuk
melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.
|
|||||
5.
|
Relawan Sosial adalah
seseorang dan/atau kelompok masyarakat, baik yang berlatar belakang
pekerjaan sosial maupun bukan berlatar belakang pekerjaan sosial, tetapi
melaksanakan kegiatan penyelenggaraan di bidang sosial bukan di instansi
sosial pemerintah atas kehendak sendiri dengan atau tanpa imbalan.
|
|||||
6.
|
Pelaku Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial adalah individu, kelompok, lembaga kesejahteraan
sosial, dan masyarakat yang terlibat dalam penyelenggaraan kesejahteraan
sosial.
|
|||||
7.
|
Lembaga Kesejahteraan
Sosial adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang
melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang dibentuk oleh
masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
|
|||||
8.
|
Rehabilitasi Sosial
adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan
seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam
kehidupan masyarakat.
|
|||||
9.
|
Perlindungan Sosial adalah semua upaya
yang diarahkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan
kerentanan sosial.
|
|||||
10.
|
Pemberdayaan Sosial
adalah semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang
mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya.
|
|||||
11.
|
Jaminan Sosial adalah
skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi
kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
|
|||||
12.
|
Warga Negara adalah warga negara Republik
Indonesia yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
13.
|
Pemerintah Pusat,
selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||||
14.
|
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati,
atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.
|
|||||
15.
|
Menteri adalah menteri yang membidangi
urusan sosial.
|
|||||
BAB II
ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 |
||||||
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial
dilakukan berdasarkan asas:
|
||||||
a.
|
kesetiakawanan;
|
|||||
b.
|
keadilan;
|
|||||
c.
|
kemanfaatan;
|
|||||
d.
|
keterpaduan;
|
|||||
e.
|
kemitraan;
|
|||||
f.
|
keterbukaan;
|
|||||
g.
|
akuntabilitas;
|
|||||
h.
|
partisipasi;
|
|||||
i.
|
profesionalitas; dan
|
|||||
j.
|
keberlanjutan.
|
|||||
Pasal 3
|
||||||
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial
bertujuan:
|
||||||
a.
|
meningkatkan taraf kesejahteraan,
kualitas, kelangsungan hidup;
|
|||||
b.
|
memulihkan fungsi sosial dalam rangka
mencapai kemandirian;
|
|||||
c.
|
meningkatkan ketahanan sosial masyarakat
dalam mencegah dan menangani masalah kesejahteraan sosial;
|
|||||
d.
|
meningkatkan kemampuan,
kepedulian dan tanggungjawab sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan;
|
|||||
e.
|
meningkatkan kemampuan
dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial
secara melembaga dan berkelanjutan; dan
|
|||||
f.
|
meningkatkan kualitas
manajemen penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
|
|||||
BAB III
PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Bagian Kesatu
Umum Pasal 4 |
||||||
Negara bertanggung jawab atas
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
|
||||||
Pasal 5
|
||||||
(1)
|
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial
ditujukan kepada:
|
|||||
a.
|
perseorangan;
|
|||||
b.
|
keluarga;
|
|||||
c.
|
kelompok; dan/atau
|
|||||
d.
|
masyarakat.
|
|||||
(2)
|
Penyelenggaraan
kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan
kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara
kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial:
|
|||||
a.
|
kemiskinan;
|
|||||
b.
|
ketelantaran;
|
|||||
c.
|
kecacatan;
|
|||||
d.
|
keterpencilan;
|
|||||
e.
|
ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku;
|
|||||
f.
|
korban bencana; dan/atau
|
|||||
g.
|
korban tindak kekerasan, eksploitasi dan
diskriminasi.
|
|||||
Pasal 6
|
||||||
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial
meliputi:
|
||||||
a.
|
rehabilitasi sosial;
|
|||||
b.
|
jaminan sosial;
|
|||||
c.
|
pemberdayaan sosial; dan
|
|||||
d.
|
perlindungan sosial.
|
|||||
Bagian Kedua
Rehabilitasi Sosial Pasal 7 |
||||||
(1)
|
Rehabilitasi sosial
dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang
mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya
secara wajar.
|
|||||
(2)
|
Rehabilitasi sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara persuasif,
motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial.
|
|||||
(3)
|
Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diberikan dalam bentuk:
|
|||||
a.
|
motivasi dan diagnosis psikososial;
|
|||||
b.
|
perawatan dan pengasuhan;
|
|||||
c.
|
pelatihan vokasional dan pembinaan
kewirausahaan;
|
|||||
d.
|
bimbingan mental spiritual;
|
|||||
e.
|
bimbingan fisik;
|
|||||
f.
|
bimbingan sosial dan konseling
psikososial;
|
|||||
g.
|
pelayanan aksesibilitas;
|
|||||
h.
|
bantuan dan asistensi sosial;
|
|||||
i.
|
bimbingan resosialisasi;
|
|||||
j.
|
bimbingan lanjut; dan/atau
|
|||||
k.
|
rujukan.
|
|||||
Pasal 8
|
||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan rehabilitasi sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||||
Bagian Ketiga
Jaminan Sosial Pasal 9 |
||||||
(1)
|
Jaminan sosial dimaksudkan untuk:
|
|||||
a.
|
menjamin fakir miskin,
anak yatim piatu terlantar, lanjut usia terlantar, penyandang cacat
fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, eks penderita penyakit
kronis yang mengalami masalah ketidakmampuan sosial-ekonomi agar
kebutuhan dasarnya terpenuhi.
|
|||||
b.
|
menghargai pejuang, perintis kemerdekaan,
dan keluarga pahlawan atas jasa-jasanya.
|
|||||
(2)
|
Jaminan sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan dalam bentuk
asuransi kesejahteraan sosial dan bantuan langsung berkelanjutan.
|
|||||
(3)
|
Jaminan sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan dalam bentuk
tunjangan berkelanjutan.
|
|||||
Pasal 10
|
||||||
(1)
|
Asuransi kesejahteraan
sosial diselenggarakan untuk melindungi warga negara yang tidak mampu
membayar premi agar mampu memelihara dan mempertahankan taraf
kesejahteraan sosialnya.
|
|||||
(2)
|
Asuransi kesejahteraan sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk bantuan iuran oleh
Pemerintah.
|
|||||
Pasal 11
|
||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan jaminan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||||
Bagian Keempat
Pemberdayaan Sosial Pasal 12 |
||||||
(1)
|
Pemberdayaan sosial dimaksudkan untuk:
|
|||||
a.
|
memberdayakan
seseorang, keluarga, kelompok, dan masyarakat yang mengalami masalah
kesejahteraan sosial agar mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri.
|
|||||
b.
|
meningkatkan peran
serta lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan sumber daya
dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
|
|||||
(2)
|
Pemberdayaan sosial sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui:
|
|||||
a.
|
peningkatan kemauan dan kemampuan;
|
|||||
b.
|
penggalian potensi dan sumber daya;
|
|||||
c.
|
penggalian nilai-nilai dasar;
|
|||||
d.
|
pemberian akses; dan/atau
|
|||||
e.
|
pemberian bantuan usaha.
|
|||||
(3)
|
Pemberdayaan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilakukan dalam bentuk:
|
|||||
a.
|
diagnosis dan pemberian motivasi;
|
|||||
b.
|
pelatihan keterampilan;
|
|||||
c.
|
pendampingan;
|
|||||
d.
|
pemberian stimulan modal, peralatan usaha, dan
tempat usaha;
|
|||||
e.
|
peningkatan akses pemasaran hasil usaha;
|
|||||
f.
|
supervisi dan advokasi sosial;
|
|||||
g.
|
penguatan keserasian sosial;
|
|||||
h.
|
penataan lingkungan; dan/atau
|
|||||
i.
|
bimbingan lanjut.
|
|||||
(4)
|
Pemberdayaan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilakukan dalam bentuk:
|
|||||
a.
|
diagnosis dan pemberian motivasi;
|
|||||
b.
|
penguatan kelembagaan masyarakat;
|
|||||
c.
|
kemitraan dan penggalangan dana; dan/atau
|
|||||
d.
|
pemberian stimulan
|
|||||
Pasal 13
|
||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemberdayaan
sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||||
Bagian Kelima
Perlindungan Sosial Pasal 14 |
||||||
(1)
|
Perlindungan sosial dimaksudkan untuk mencegah dan
menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial
seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar
kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan
kebutuhan dasar minimal.
|
|||||
(2)
|
Perlindungan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui:
|
|||||
a.
|
bantuan sosial;
|
|||||
b.
|
advokasi sosial; dan/atau
|
|||||
c.
|
bantuan hukum.
|
|||||
Pasal 15
|
||||||
(1)
|
Bantuan sosial dimaksudkan agar seseorang, keluarga,
kelompok, dan/atau masyarakat yang mengalami
guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup secara
wajar.
|
|||||
(2)
|
Bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersifat sementara dan/atau berkelanjutan dalam bentuk:
|
|||||
a.
|
bantuan langsung;
|
|||||
b.
|
penyediaan aksesibilitas; dan/atau
|
|||||
c.
|
penguatan kelembagaan.
|
|||||
Pasal 16
|
||||||
(1)
|
Advokasi sosial dimaksudkan untuk melindungi dan
membela seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau
masyarakat yang dilanggar haknya.
|
|||||
(2)
|
Advokasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dalam bentuk penyadaran hak dan kewajiban,
pembelaan, dan pemenuhan hak.
|
|||||
Pasal 17
|
||||||
(1)
|
Bantuan hukum diselenggarakan untuk mewakili
kepentingan warga negara yang menghadapi masalah
hukum dalam pembelaan atas hak, baik di dalam maupun
di luar pengadilan.
|
|||||
(2)
|
Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan dalam bentuk pembelaan dan konsultasi hukum.
|
|||||
Pasal 18
|
||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perlindungan
sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||||
BAB IV
PENANGGULANGAN KEMISKINAN Pasal 19 |
||||||
Penanggulangan kemiskinan merupakan kebijakan, program,
dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang, keluarga,
kelompok dan/atau masyarakat yang tidak mempunyai atau
mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat
memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan.
|
||||||
Pasal 20
|
||||||
Penanggulangan kemiskinan ditujukan untuk:
|
||||||
a.
|
meningkatkan kapasitas dan mengembangkan
kemampuan dasar serta kemampuan berusaha masyarakat miskin;
|
|||||
b.
|
memperkuat peran masyarakat miskin dalam
pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghargaan,
perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar;
|
|||||
c.
|
mewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi,
politik, dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh
kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan
taraf hidup secara berkelanjutan; dan
|
|||||
d.
|
memberikan rasa aman bagi kelompok
masyarakat miskin dan rentan.
|
|||||
Pasal 21
|
||||||
Penanggulangan kemiskinan dilaksanakan
dalam bentuk:
|
||||||
a.
|
penyuluhan dan bimbingan sosial;
|
|||||
b.
|
pelayanan sosial;
|
|||||
c.
|
penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha;
|
|||||
d.
|
penyediaan akses pelayanan kesehatan dasar;
|
|||||
e.
|
penyediaan akses pelayanan pendidikan dasar;
|
|||||
f.
|
penyediaan akses pelayanan perumahan dan permukiman;
dan/atau
|
|||||
g.
|
penyediaan akses pelatihan, modal usaha, dan pemasaran
hasil usaha.
|
|||||
Pasal 22
|
||||||
Pelaksanaan penanggulangan kemiskinan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 menjadi tanggung jawab Menteri.
|
||||||
Pasal 23
|
||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan kemiskinan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
||||||
BAB V
TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG Bagian Kesatu Umum Pasal 24 |
||||||
(1)
|
Penyelenggaraan kesejahteraan sosial menjadi tanggung
jawab:
|
|||||
a.
|
Pemerintah; dan
|
|||||
b.
|
Pemerintah daerah.
|
|||||
(2)
|
Tanggung jawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan
oleh Menteri.
|
|||||
(3)
|
Tanggung jawab penyelenggaraan kesejahteraan sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan:
|
|||||
a.
|
untuk tingkat provinsi oleh gubernur;
|
|||||
b.
|
untuk tingkat kabupaten/kota oleh bupati/walikota.
|
|||||
Bagian Kedua
Pemerintah Pasal 25 |
||||||
Tanggung jawab Pemerintah dalam menyelenggarakan
kesejahteraan sosial meliputi:
|
||||||
a.
|
merumuskan kebijakan dan program penyelenggaraan
kesejahteraan sosial;
|
|||||
b.
|
menyediakan akses penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
|
|||||
c.
|
melaksanakan rehabilitasi sosial, jaminan sosial,
pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
|||||
d.
|
memberikan bantuan sosial sebagai stimulan kepada
masyarakat yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial;
|
|||||
e.
|
mendorong dan memfasilitasi masyarakat serta dunia
usaha dalam melaksanakan tanggungjawab sosialnya;
|
|||||
f.
|
meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya
manusia di bidang kesejahteraan sosial;
|
|||||
g.
|
menetapkan standar pelayanan, registrasi,
akreditasi, dan sertifikasi pelayanan kesejahteraan sosial;
|
|||||
h.
|
melaksanakan analisis dan audit dampak sosial terhadap
kebijakan dan aktivitas pembangunan;
|
|||||
i.
|
menyelenggarakan pendidikan dan penelitian
kesejahteraan sosial;
|
|||||
j.
|
melakukan pembinaan dan pengawasan serta pemantauan
dan evaluasi terhadap penyelenggaraan kesejahteraan
sosial;
|
|||||
k.
|
mengembangkan jaringan kerja dan
koordinasi lintas pelaku penyelenggaraan kesejahteraan sosial tingkat
nasional dan internasional dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
|
|||||
l.
|
memelihara taman makam pahlawan dan makam pahlawan
nasional;
|
|||||
m.
|
melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial; dan
|
|||||
n.
|
mengalokasikan anggaran untuk
penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara.
|
|||||
Pasal 26
|
||||||
Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan kesejahteraan
sosial meliputi:
|
||||||
a.
|
penetapan kebijakan dan program penyelenggaraan
kesejahteraan sosial selaras dengan kebijakan
pembangunan nasional;
|
|||||
b.
|
penetapan standar pelayanan minimum, registrasi,
akreditasi, dan sertifikasi pelayanan kesejahteraan sosial;
|
|||||
c.
|
koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan
kesejahteraan sosial;
|
|||||
d.
|
pelaksanaan kerja sama dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dengan negara lain, dan lembaga
kesejahteraan sosial, baik nasional maupun internasional;
|
|||||
e.
|
pemberian izin dan pengawasan pengumpulan sumbangan
dan penyaluran bantuan sosial;
|
|||||
f.
|
pendayagunaan dana yang berasal dari dunia usaha dan
masyarakat;
|
|||||
g.
|
pemeliharaan taman makam pahlawan dan makam
pahlawan nasional; dan
|
|||||
h.
|
pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial.
|
|||||
Bagian Ketiga
Pemerintah Daerah Pasal 27 |
||||||
Tanggung jawab pemerintah provinsi dalam menyelenggarakan
kesejahteraan sosial meliputi:
|
||||||
a.
|
mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dalam anggaran pendapatan dan
belanja daerah;
|
|||||
b.
|
melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial lintas
kabupaten/kota, termasuk dekonsentrasi dan tugas
pembantuan;
|
|||||
c.
|
memberikan bantuan sosial sebagai stimulan
kepada
masyarakat yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial;
|
|||||
d.
|
memelihara taman makam pahlawan; dan
|
|||||
e.
|
melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial.
|
|||||
Pasal 28
|
||||||
Wewenang pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial meliputi:
|
||||||
a.
|
penetapan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial
yang bersifat lintas kabupaten/kota selaras dengan
kebijakan pembangunan nasional di bidang kesejahteraan
sosial;
|
|||||
b.
|
penetapan kebijakan kerja sama dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dengan lembaga kesejahteraan sosial
nasional;
|
|||||
c.
|
pemberian izin dan pengawasan pengumpulan sumbangan
dan penyaluran bantuan sosial sesuai dengan
kewenangannya;
|
|||||
d.
|
koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan
kesejahteraan sosial;
|
|||||
e.
|
pemeliharaan taman makam pahlawan; dan
|
|||||
f.
|
pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial.
|
|||||
Pasal 29
|
||||||
Tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota dalam
menyelenggarakan kesejahteraan sosial meliputi:
|
||||||
a.
|
mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan
kesejahteraan sosial dalam anggaran pendapatan dan
belanja daerah;
|
|||||
b.
|
melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial di
wilayahnya/bersifat lokal, termasuk tugas pembantuan;
|
|||||
c.
|
memberikan bantuan sosial sebagai stimulan kepada
masyarakat yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial;
|
|||||
d.
|
memelihara taman makam pahlawan; dan
|
|||||
e.
|
melestarikan nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial.
|
|||||
Pasal 30
|
||||||
Wewenang pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial meliputi:
|
||||||
a.
|
penetapan kebijakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial
yang bersifat lokal selaras dengan kebijakan pembangunan
nasional dan provinsi di bidang kesejahteraan sosial;
|
|||||
b.
|
koordinasi pelaksanaan program penyelenggaraan
kesejahteraan sosial di wilayahnya;
|
|||||
c.
|
pemberian izin dan pengawasan pengumpulan sumbangan
dan penyaluran bantuan sosial sesuai dengan
kewenangannya;
|
|||||
d.
|
pemeliharaan taman makam pahlawan; dan
|
|||||
e.
|
pelestarian nilai kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial.
|
|||||
Pasal 31
|
||||||
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan koordinasi
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
|
||||||
BAB VI
SUMBER DAYA PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL Bagian Kesatu Umum Pasal 32 |
||||||
Sumber daya penyelenggaraan kesejahteraan sosial meliputi:
|
||||||
a.
|
sumber daya manusia;
|
|||||
b.
|
sarana dan prasarana; serta
|
|||||
c.
|
sumber pendanaan.
|
|||||
Bagian Kedua
Sumber Daya Manusia Pasal 33 |
||||||
(1)
|
Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 huruf a terdiri atas:
|
|||||
a.
|
tenaga kesejahteraan sosial;
|
|||||
b.
|
pekerja sosial profesional;
|
|||||
c.
|
relawan sosial; dan
|
|||||
d.
|
penyuluh sosial.
|
|||||
(2)
|
Tenaga kesejahteraan sosial, pekerja sosial profesional,
dan penyuluh sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, dan huruf d sekurang-kurangnya memiliki
kualifikasi:
|
|||||
a.
|
pendidikan di bidang kesejahteraan sosial;
|
|||||
b.
|
pelatihan dan keterampilan pelayanan sosial; dan/atau
|
|||||
c.
|
pengalaman melaksanakan pelayanan sosial.
|
|||||
Pasal 34
|
||||||
(1)
|
Tenaga kesejahteraan sosial, pekerja sosial profesional,
dan penyuluh sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
33 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d dapat
memperoleh:
|
|||||
a.
|
pendidikan;
|
|||||
b.
|
pelatihan;
|
|||||
c.
|
promosi;
|
|||||
d.
|
tunjangan; dan/atau
|
|||||
e.
|
penghargaan.
|
|||||
(2)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
|
|||||
Bagian Ketiga
Sarana dan Prasarana
Pasal 35
|
||||||
(1)
|
Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 huruf b meliputi:
|
|||||
a.
|
panti sosial;
|
|||||
b.
|
pusat rehabilitasi sosial;
|
|||||
c.
|
pusat pendidikan dan pelatihan;
|
|||||
d.
|
pusat kesejahteraan sosial;
|
|||||
e.
|
rumah singgah;
|
|||||
f.
|
rumah perlindungan sosial.
|
|||||
(2)
|
Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memiliki standar minimum yang ditetapkan oleh
Pemerintah.
|
|||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar sarana dan
prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||||
Bagian Keempat
Sumber Pendanaan Pasal 36 |
||||||
(1)
|
Sumber pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
huruf c meliputi:
|
|||||
a.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
|
|||||
b.
|
anggaran pendapatan dan belanja daerah;
|
|||||
c.
|
sumbangan masyarakat;
|
|||||
d.
|
dana yang disisihkan dari badan usaha sebagai
kewajiban dan tanggungjawab sosial dan lingkungan;
|
|||||
e.
|
bantuan asing sesuai dengan kebijakan Pemerintah
dan peraturan perundang-undangan; serta
|
|||||
f.
|
sumber pendanaan yang sah berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(2)
|
Pengalokasian sumber pendanaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(3)
|
Pengumpulan dan penggunaan sumber pendanaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d,
huruf e, dan huruf f dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
|
|||||
Pasal 37
|
||||||
Usaha pengumpulan dan penggunaan sumber pendanaan yang
berasal dari masyarakat bagi kepentingan kesejahteraan sosial
selain sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 36 ayat (3)
dilaksanakan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
|
||||||
BAB VII
PERAN MASYARAKAT Pasal 38 |
||||||
(1)
|
Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya
untuk berperan dalam penyelenggaraan kesejahteraan
sosial.
|
|||||
(2)
|
Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh:
|
|||||
a.
|
perseorangan;
|
|||||
b.
|
keluarga;
|
|||||
c.
|
organisasi keagamaan;
|
|||||
d.
|
organisasi sosial kemasyarakatan;
|
|||||
e.
|
lembaga swadaya masyarakat;
|
|||||
f.
|
organisasi profesi;
|
|||||
g.
|
badan usaha;
|
|||||
h.
|
lembaga kesejahteraan sosial; dan
|
|||||
i.
|
lembaga kesejahteraan sosial asing.
|
|||||
(3)
|
Peran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
untuk mendukung keberhasilan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.
|
|||||
Pasal 39
|
||||||
(1)
|
Organisasi profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
ayat (2) huruf f, terdiri atas :
|
|||||
a.
|
ikatan pekerja sosial profesional;
|
|||||
b.
|
lembaga pendidikan pekerjaan sosial; dan
|
|||||
c.
|
lembaga kesejahteraan sosial.
|
|||||
(2)
|
Untuk menjaga dan menegakkan profesionalisme,
organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menetapkan kode etik.
|
|||||
Pasal 40
|
||||||
Peran badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
huruf g dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial dilakukan
sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
Pasal 41
|
||||||
Pemerintah memberikan penghargaan dan dukungan kepada
masyarakat yang berperan dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.
|
||||||
Pasal 42
|
||||||
(1)
|
Untuk melaksanakan peran masyarakat dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial dapat dilakukan
koordinasi antar lembaga/ organisasi sosial.
|
|||||
(2)
|
Pelaksanaan koordinasi peyelenggaraan kesejahteraan
sosial oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diwujudkan dengan membentuk suatu lembaga
koordinasi kesejahteraan sosial nonpemerintah dan bersifat
terbuka, independen, serta mandiri.
|
|||||
(3)
|
Lembaga koordinasi kesejahteraan sosial nonpemerintah,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk pada
tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
|
|||||
(4)
|
Lembaga koordinasi kesejahteraan sosial baik pada tingkat
nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) bersifat otonom, dan bukan
merupakan lembaga yang mempunyai hubungan hierarki.
|
|||||
Pasal 43
|
||||||
Lembaga koordinasi kesejahteraan sosial mempunyai tugas:
|
||||||
a.
|
mengkoordinasikan organisasi/lembaga sosial;
|
|||||
b.
|
membina organisasi/lembaga sosial;
|
|||||
c.
|
mengembangkan model pelayanan kesejahteraan sosial;
|
|||||
d.
|
menyelenggarakan forum komunikasi dan konsultasi
penyelenggaraan kesejahteraan sosial; dan
|
|||||
e.
|
melakukan advokasi sosial dan advokasi anggaran
terhadap lembaga/organisasi sosial.
|
|||||
Pasal 44
|
||||||
Pembentukan lembaga koordinasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
|
||||||
Pasal 45
|
||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran masyarakat diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
|
||||||
BAB VIII
PENDAFTARAN DAN PERIZINAN LEMBAGA KESEJAHTERAAN SOSIAL Pasal 46 |
||||||
(1)
|
Setiap lembaga yang menyelenggarakan kesejahteraan
sosial wajib mendaftar kepada kementerian atau instansi di
bidang sosial sesuai dengan wilayah kewenangannya.
|
|||||
(2)
|
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan cepat, mudah, dan tanpa biaya.
|
|||||
Pasal 47
|
||||||
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mendata lembaga
yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial.
|
||||||
Pasal 48
|
||||||
Lembaga kesejahteraan sosial asing dalam melakukan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 ayat (2) huruf i wajib memperoleh izin dan
melaporkan kegiatannya kepada Menteri, gubernur, dan
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
|
||||||
Pasal 49
|
||||||
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 48 dikenai sanksi administratif
berupa:
|
||||||
a.
|
peringatan tertulis;
|
|||||
b.
|
penghentian sementara dari kegiatan;
|
|||||
c.
|
pencabutan izin; dan/atau
|
|||||
d.
|
denda administratif.
|
|||||
Pasal 50
|
||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran bagi
lembaga yang menyelenggarakan kesejahteraan sosial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, dan pemberian izin
penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi lembaga kesejahteraan sosial asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
48, serta mekanisme pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
|
||||||
BAB IX
AKREDITASI DAN SERTIFIKASI Pasal 51 |
||||||
(1)
|
Akreditasi dilakukan terhadap lembaga di bidang
kesejahteraan sosial.
|
|||||
(2)
|
Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan untuk menentukan tingkat kelayakan dan
standardisasi penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
|
|||||
Pasal 52
|
||||||
(1)
|
Sertifikasi dilakukan untuk menentukan kualifikasi dan
kompetensi yang sesuai di bidang penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.
|
|||||
(2)
|
Sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk
sertifikat.
|
|||||
(3)
|
Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan
kepada pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan
sosial yang telah menyelesaikan suatu pendidikan dan/atau
pelatihan.
|
|||||
(4)
|
Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberikan kepada pekerja sosial profesional dan tenaga
kesejahteraan sosial oleh lembaga sertifikasi.
|
|||||
(5)
|
Pemberian sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilakukan atas rekomendasi organisasi profesi sesuai
dengan kewenangannya sebagai pengakuan terhadap
kompetensi melakukan praktek pekerjaan sosial.
|
|||||
(6)
|
Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan
setelah lulus uji kompetensi sebagai pengakuan terhadap
kompetensi dalam melakukan penyelenggaraan
kesejahteraan sosial tertentu.
|
|||||
Pasal 53
|
||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi dan sertifikasi
diatur dalam Peraturan Menteri.
|
||||||
BAB X
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN SERTA PEMANTAUAN DAN EVALUASI Pasal 54 |
||||||
(1)
|
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan
dan pengawasan terhadap aktivitas pelaku
penyelenggaraan kesejahteraan sosial sesuai dengan
kewenangannya masing-masing.
|
|||||
(2)
|
Masyarakat dapat melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap aktivitas pelaku penyelenggaraan kesejahteraan
sosial.
|
|||||
Pasal 55
|
||||||
(1)
|
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pemantauan
dan evaluasi terhadap penyelenggaraan kesejahteraan
sosial sesuai dengan kewenangannya.
|
|||||
(2)
|
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas dan
pengendalian mutu penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
|
|||||
Pasal 56
|
||||||
Pembinaan dan pengawasan, serta pemantauan dan evaluasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP Pasal 57 |
||||||
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3039) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
|
||||||
Pasal 58
|
||||||
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan sosial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 53,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3039)
yang ada pada saat diundangkannya Undang-Undang ini, masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti
berdasarkan Undang-Undang ini.
|
||||||
Pasal 59
|
||||||
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus sudah
ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak diundangkannya
Undang-Undang ini.
|
||||||
Pasal 60
|
||||||
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
||||||
Disahkan di Jakarta
|
||||||
pada tanggal 16 Januari 2009
|
||||||
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
|
||||||
ttd.
|
||||||
SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
|
||||||
Diundangkan di Jakarta
|
||||||
pada tanggal 16 Januari 2009
|
||||||
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA, |
||||||
ttd.
|
||||||
ANDI MATTALATTA | ||||||
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 12
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar